“Praannggg….”
Bunyi itu pun terdengar sampai ke kamar Ridwan. ”suara apa itu?” ucapnya
dalam hati. Iapun melangkahkan kakinya dan mencari apa yang sedang
terjadi. Tampak ibunya sedang gemetar dan hanya diam terpaku di dapur.
”ada apa bu?” ucapnya. Ibunya terlihat pucat dan berkata ”ibu tak
sengaja memecahkannya. Apakah ini ada pertanda buruk?”. Diapun teringat
akan sosok ayahnya yang lagi terlibat konflik dengan desa sebelah. Kedua
desa, yaitu desa kanjuhuran dan kusangin memang tidak pernah akur
selama beberapa tahun ini dan mereka sering terlibat konflik berdarah.
Ridwanpun bergegas pergi keluar tanpa memikirkan tangannya yang luka.
”kamu mau kemana nak?” ucap seorang ibu yang begitu sayang kepada
anaknya itu ”lukamu belum sembuh” sambungnya. Diapun langsung pergi
menemui ayahnya. ”aku ingin bertemu ayah bu” jawabnya dari kejauhan. ”Ya
tuhan lindungilah anak dan suamiku” do’anya kepada sang Maha Pencipta.
Sambil membersihkan beling yang berserakan, ibunya pun merasa gelisah.
Bagaimana tidak perkelahian minggu lalu saja telah melukai anaknya. Saat
itu Ridwan disabet menggunakan parang dan lukanya cukup serius. Untung
saja ia masih bisa diselamatkan. Ia takut hal yang sama akan terjadi
pada suaminya. ”kapankah semua ini akan berakhir?” tanyanya dalam hati.
”seperti tak ada habisnya” ujarnya. Diapun hanya bisa terduduk lemas di
depan pintu menanti kabar sang suami.
Desa Kanjuhuran dan desa Kusangin adalah dua desa yang bertetangga di
kabupaten simuba. Dulunya kedua desa hidup dengan rukun. Tapi beberapa
tahun terakhir ini kedua desa tampak tegang. Entah siapa yang memulai
konflik ini. Tapi konflik ini terjadi tidak lama setelah pak Mukhlis,
yang juga ayahnya Ridwan diangkat warga desa sebagai kepala desa.
Konflik kedua desa ini dilatarbelakangi oleh batas wilayah kedua
kampung. Setiap ada masalah kecil, kedua desapun menjadi tegang. Sudah
beberapa kali dilakukan proses perdamaian antara kedua kampung, dan
sudah beberapa kali pula perjanjian itu hanya hitam diatas putih.
Sudah banyak yang harus dikorbankan dari pertikaian antara kedua
kampung. Mulai dari waktu, harta benda, sampai kepada nyawa. Hidup damai
dan tentram hanyalah menjadi mimpi yang mungkin suatu saat akan menjadi
kenyataan bagi kedua kampung.
Dari jauh terlihat seorang sosok yang sedang memapah orang yang
terluka. ”mak, tolong bapak mak! Bapak terluka” suara sosok itu dari
kejauhan yang tidak terdengar jelas. Sekejap saja sosok yang sedang
duduk didepan pintupun beranjak dari peraduannya. Sosok itupun segera
berlari mendatangi kedua sosok itu. ”kenapa dengan bapak mu nak?” tanya
ibu yang tua renta itu. ”bapak tersabet parang mak” jawabnya sambil
menghela nafas. ”aku menemukannya di perbatasan desa” sambungnya. ”bawa
bapakmu masuk” ucap ibu syariah-ibu Ridwan-.
Akhirnya, konflik kedua desa dapat juga mereda. Pak Drajat-orang
kepercayaan pak Mukhlis- mau berunding dengan pak Rahmat-kades
kusangin-. Dengan adanya perundingan ini ketegangan dua desapun dapat
dikurangi untuk sementara. Namun bukan berarti konflik ini benar-benar
berhenti. Sudah berulang kali perjanjian hanyalah jadi perjanjian, tidak
pernah direalisasikan dalam tindakan yang nyata. Kedua desa sepakat
untuk menghentikan konflik yang sedang berlangsung. Mungkin mereka sudah
lelah dengan semua yang terjadi. tapi demi harga diri mereka, hal itu
mereka kesampingkan. Bagi mereka lebih baik mati membela kampung dari
pada harus mengalah dan menyerahkan batas desa.
Haripun berlalu, kini tidak tampak lagi konflik badan antara kedua
desa. Tetapi suasana tegang antara kedua desa masih terasa. Warga
kanjuhuran yang biasa mencari nafkah di perbatasan kedua desapun tidak
berani untuk mendekat dan bekerja. Mereka hanya beraktifitas didalam
kampung.
”maling…maling…” terdengar suara teriakan disubuh hari. Mendengar
teriakan itu, wargapun terbangun dan langsung mencari sumber teriakan.
Dilihat warga dua orang suami istri yang berdaya sedang terkapar di
ruang tamu rumah mereka. Pintupun dalam keadaan terbuka. Ternyata itu
adalah pak Syukron dan istrinya. Maling tersebut tidak hanya mengambil
harta pak Syukron tapi juga melukai keduanya.
Dari kejauhan, tampak sosok yang sedang kekelahan seperti habis
mengejar sesuatu. ”malingnya lari kesana” ucapnya terengeh-engeh.
Ternyata itu adalah si Madin. Ia adalah penjaga pos ronda. ”kemana?”
tanya seorang warga untuk memperjelas. ”itu…” ucapnya sambil. ”kemana?”
tanya warga yang lain. ”kedesa sebelah”. ”apa?” wargapun mulai curiga
bahwa maling tersebut adalah warga desa kusangin.
Tiba-tiba ditengah mereka datanglah Ridwan yang terbangun karena
teriakan tadi. ”ada apa ini?” ucapnya keheranan. ”ini…pak Syukron
kemalingan. Pak Syukron juga dibacok oleh tu maling” ucap madi-salah
seorang warga desa-.”malingnya lari kedesa kesebelah wan” sambar Madin.
Ridwanpun merasa heran dengan semua ini. Bagaimana mungkin malingnya
bisa dari desa sebelah. Perbatasan kedua desa saja dibatasi oleh dua
orang penjaga di masing-masing desa. ”sudahlah, biar aku yang akan
menyelesaikannya. Sekarang kalian bantu pak Syukron”
Ridwanpun bergegas pergi kerumah untuk menemui ayahnya. Sesampainya di
rumah, ia melihatnya ayahnya ada di ruang tamu bersama pak Drajat.
Kebetulan waktu itu pak Drajat sedang bermalam di rumah pak Mukhlis.
Iapun segera menghampiri ayahnya. ”apa yang terjadi tadi nak?” tanya
ayahnya. ”rumah pak Syukron disatroni maling” jawabnya. ”maling?… pasti
maling itu dari desa sebelah” sambung pak Drajat. ”kok bapak bisa tahu?”
tanya Ridwan keheranan. ”memang benar apa yang dikatakan pak Drajat,
Ridwan?” tanya ayahnya. ”kata pak Madin sih seperti itu” jawabnya.
Hati pak Mukhlispun memanas mendengar berita itu. ”bapak tenang saja.
Belum tentu lagi malingnya adalah warga desa sebelah. Kita harus
membuktikannya” kata Ridwan yang ingin kedua desa hidup dalam
perdamaian. ”tak mungkin” sela pak Drajat. ”bapak tidak percaya dengan
pak Madin. Ia penjaga pos, tentu ia melihat kemana maling itu pergi!”
tambahnya. Pak Mukhlispun bingung dengan keadaan ini. Ia harus memilih
antara anaknya dan orang kepercayaannya. ”pak, sudahlah pak. Kita akhiri
saja semua konflik ini. Tidak ada gunanya konflik yang terus
berkepanjangan ini” ucap Ridwan mencoba untuk membuka hati ayahnya.
”tidak bisa!!” sambar pak Drajat.”ini adalah demi harga diri. Kalau kita
berdamai kepada mereka, berarti kita kalah” sambungnya. ”bapak jangan
coba mempengaruhi bapak saya ya?”
Suasana di rumahpun menjadi tegang. Perang mulut antara Ridwan dan
pak Drajatpun mulai berkoar. Ridwanpun akhirnya memutuskan pergi kedesa
sebelah untuk menyelesaikan kasus ini. Pada awalnya ayahnya tidak
mengizinkan Ridwan untuk pergi karena dia takut terjadi sesuatu pada
anak semata wayangnya itu. Tapi kemauan si Ridwan akhirnya memaksa
ayahnya untuk mengizinkannya pergi kedesa sebelah.
”perdamaian itu akan datang” ucapnya sambil berlalu meninggalkan
rumah. Dengan mengusung perdamaian iapun pergi kedesa sebelah untuk
berunding. Ia ditemani oleh si Amar teman dekatnya. Ia harap apa yang ia
lakukan ini akan membawa semilir angin perdamaian.
Sesampainya di perbatasan desa ia dan Amar dicegat oleh orang yang
tidak dapat ia kenali. Disitulah mereka dibacok, hingga akhirnya
Ridwanpun tewas. Ternyata Amar dapat menyelamatkan diri dari peristiwa
itu, walaupun ia menderita luka bacok. Amarpun kembali kedesa dengan
luka parah dibagian kaki.
”pak, Ridwan kemana?” tanya bu Syariah kepada suaminya. ”Dia pergi
kedesa Sebelah bu” ucap suaminya. ”perasaanku jadi tidak enak gini pak?
Ada urusan apa dia pergi kesana?” tanya ibu Ridwan. ”Dia mau berunding
dengan desa sebelah” ucap suaminya.
Datanglah Amar dengan luka parah yang dideritanya. ”ada apa Mar? Mana
si Ridwan?” tanya pak Mukhlis. ”Si Ridwan Meninggal pak. Ia dibacok
orang di perbatasan” ucap si Amar terengeh-engeh. ”Apa? Siapa
pembunuhnya? ” tanya pak Mukhlis dengan perasaan sedih.
Terlihat sosok yang sedang berlari kearah rumah Pak Mukhlis. ”ada
berita pak!” ucapnya. Ternyata itu adalah si Madi. ”ternyata malingnya
adalah si Udin warga desa kita” ucapnya. ”si Madin hanya berbohong pak,
ia disuruh oleh pak Drajat” sambungnya. Mendengar laporan ini pak
Mukhlis merasa bersalah dengan anaknya. Iapun bertekuk dan menyadari
bahwa sikapnya selama ini salah. Ia pun berjanji akan mewujudkan
cita-cita anaknya untuk mewujudkan perdamaian.
”kita datangi pak Drajat!” kata pak Mukhlis dengan tegas. Warga bersama
kepala desapun mendatangi rumah pak Drajat. Disana mereka menemukan
rumah pak Drajat dalam keadaan kosong. Ternyata pak Drajat telah
mengetahui hal ini dan segera pergi untuk menghilangkan jejak.
Akhirnya, pak Mukhlis luluh hatinya setelah kematian anaknya. Kini
tak ada lagi yang menghalangi ia untuk berunding dengan desa sebelah.
Selama ini ketika pak Mukhlis ingin berunding dengan desa sebelah, pak
Drajat selalu menghalangi perundingan itu. Hal ini dilakukan pak Drajat
untuk mengambil alaih kekuasaan di desa ini. Terakhir, terdengar kabar
bahwa orang yang mebunuh Ridwan adalah orang suruhan pak Drajat.
Jenazah Ridwanpun akhirnya dibawa pulang untuk dimakamkan. Didepan
jenazah anaknya pak Mukhlis berjanji akan mewujudkan perdamaian di dua
desa. ”perdamaian yang engkau impikan akan segera terwujud nak. Terima
kasih karena engkau telah membukakan pintu hatiku. Sebentar lagi kami
akan merasakan nikmatnya semilir angin yang engkau perjuangkan” ucapnya.